Rabu, 10 Juni 2009

Pesta Danau Toba Dikritik

Tokoh Lokal Perlu Dilibatkan dalam Berbagai Kegiatan
Medan, Kompas - Sejumlah kalangan mengaku kecewa dengan penyelenggaraan Festival Danau Toba yang tidak melibatkan pelaku kesenian lokal. Pesta Danau Toba dianggap hanya merupakan pesta yang erat dengan aktivitas pejabat. Untuk itu, masih banyak diperlukan perbaikan pada masa mendatang.
Hal ini mencuat dalam diskusi ”Potensi Budaya Batak dalam Kepariwisataan” yang dilakukan Pusat Kajian dan Pengkajian Kebudayaan Batak di Universitas HKBP Nommensen, Sabtu (19/7).
Anggota DPRD Sumatera Utara, Aliozisokhi Fau, mengatakan, ia melihat penyelenggaraan Pesta Danau Toba erat hubungannya dengan pejabat. Ia meragukan akan ada hasil dari penyelenggaraan kegiatan ini.
Hal serupa dikatakan dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas HKBP Nommensen, Antilan Purba. Seharusnya Pesta Danau Toba menjadi sebuah pesta rakyat. Namun, kenyataannya, tidak muncul tokoh lokal dalam penyelenggaraan pesta itu.
Pesta sepenuhnya dilakukan sebagai kegiatan dari atas tanpa melibatkan masyarakat lokal dan meletakkan kebudayaan lokal di sana.
”Daerah-daerah di seputar Danau Toba sebenarnya bisa dilibatkan dengan membuat pameran kebudayaannya sendiri-sendiri tiap kabupaten, misalnya di Karo dan Simalungun. Saya kira Pesta Danau Toba (kali ini) bukan milik Sumatera Utara,” tuturnya.
Pesta Danau Toba yang seharusnya menjadi titik balik untuk mengangkat Danau Toba dalam rangkaian Visit Indonesian Year itu tak banyak dirasakan warga Sumatera Utara, khususnya warga seputar Danau Toba sendiri.
Dalam diskusi juga mencuat bahwa banyak sekali unsur budaya sekitar Danau Toba yang bisa diangkat menjadi pariwisata. Peneliti Kebudayaan Batak, Daulat Saragih, mencontohkan, hal yang bisa diangkat seperti Pulau Seribu Tugu di Samosir, simbolisasi dalam kubur Raja Sidabutar di Tomok, pelajaran filsafat dalam Patung Tunggal Panaluan, legenda batu gantung, hingga upacara kematian dan perkawinan dalam budaya batak.
Dosen Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Asmyta Bakti, mengakui, selama 50 tahun terakhir, hal-hal yang berkaitan dengan budaya banyak yang menghilang di Nusantara seperti kerajinan, makanan tradisional, upacara tradisi, hingga pakaian tradisi.
Pesta Danau Toba merupakan agenda wisata yang terhenti sejak 1997. Acara ini kembali digelar untuk memajukan pariwisata Danau Toba yang selama ini lesu. Pesta yang dibuka pada 14 Juli itu menggelar aneka acara di antaranya penanaman pohon 70.000 pohon, lomba olahraga air, festival kuliner, dan pemilihan putri Danau Toba.
Pesta ini berupaya menggali potensi pariwisata dan budaya seluruh daerah di kawasan Danau Toba.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang hadir dalam penutupan Jumat pekan lalu dalam sambutannya menyampaikan apresiasinya kepada antusiasme masyarakat menggelar Pesta Danau Toba.
Pemerintah pada tahun ini menargetkan 7 juta wisatawan mancanegara datang ke Indonesia. Sampai bulan Juni, wisatawan mancanegara yang datang 3,2 juta orang. Jero Wacik optimistis target kedatangan wisatawan tercapai sampai akhir tahun. ”Pariwisata tujuannya menyejahterakan rakyat. Mari kita kobarkan semangat pesta Danau Toba ke dunia,” ujarnya mengakhiri sambutan.
Di tengah acara, panitia menggelar kain ulos terpanjang di dunia yang bernama Ulos Sabesabe Naganjang Ragihotang. Panjang ulos itu 55 meter, lebar 84 sentimeter, dan dibuat selama 750 jam oleh perajin asal Kabupaten Toba Samosir. (WSI/NDY)
Senin, 21 Juli 2008 | 00:51 WIB

Tidak ada komentar: