Rabu, 10 Juni 2009

Air Danau Toba Meninggi

Parapat, Kompas - Bangunan dan fasilitas publik di bibir Danau Toba terendam akibat kenaikan air danau setinggi lebih dari 1 meter selama dua bulan terakhir. Menurut warga setempat, tahun ini kenaikan air danau lebih tinggi dan terjadi lebih lama dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Minggu (7/12), air merendam Kantor Koramil 12/Lumban Julu, Pasar Ajibata, Pos Polisi Ajibata, dan dermaga kapal Ajibata. Di Pulau Samosir, Kantor Dinas Perhubungan dan jalan di bibir danau yang rendah seperti di Pangururan terendam. Beberapa penginapan juga terendam.
J Silalahi (57), pemilik kios di Pasar Ajibata, mengatakan, selama tujuh tahun, baru kali ini kiosnya terendam air. Menurut Kepala Desa Perdamean Ajibata Irma Sirait, warga resah karena aktivitas pasar terganggu.
Kepala Cabang Dinas Pasar, Kebersihan, dan Pertamanan Ajibata Tarugan Sirait menyatakan, retribusi pasar bulan ini turun 50 persen dibandingkan Juni. Jumlah pedagang merosot setengah dari jumlah biasa, 150 pedagang.
Menurut Bupati Samosir Mangindar Simbolon, tiga minggu lalu pihaknya mendapat surat dari Badan Otorita Asahan yang menyatakan posisi permukaan air Danau Toba sudah di atas batas atas, 905 meter dari permukaan laut, akibat curah hujan tinggi. Pengendalian permukaan air Danau Toba diatur oleh dam pengatur yang dijalankan PT Inalum atas supervisi Badan Otorita Asahan.
Sementara itu, Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai yang ada di tepi pantai sudah terendam banjir. ”Kami tahu jika pintu air dibuka, daerah bawah makin terendam,” kata Simbolon. Ia akan meminta Otorita Asahan ikut memikirkan fasilitas publik di Samosir yang terendam.
Kenaikan air danau belum mengganggu wisata. Turis asing maupun domestik masih berkunjung ke Danau Toba meski harus berbasah kaki untuk naik kapal.
Kepala Seksi Data Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan Ridwar Kamil mengatakan, curah hujan di Sumatera Utara bulan ini mencapai 200-300 mm.
Jembatan roboh
Di Nusa Tenggara Timur, jembatan Puu Bheto di Desa Riaraja, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, roboh diterjang banjir, Sabtu pukul 17.00 Wita. Akibatnya, masyarakat di enam desa terisolasi. Keenam desa itu adalah Riaraja, Wolokaro, Ja Mokeasa, Mbotutenda, serta Wologai di Kecamatan Ende dan Desa Boafeo di Kecamatan Maukaro.
Pembangunan jembatan yang baru 50 persen itu menjadi harapan akses bagi warga di enam desa untuk bertransaksi ke Ende, terutama menjual hasil pertanian dan perkebunan, sekaligus belanja bahan pokok.
”Sayang sekali jembatan belum difungsikan sudah roboh. Warga di sini amat membutuhkan jembatan,” kata Rofinus Lero, warga Desa Riaraja, Minggu.
Menurut pemimpin PT Dian Jaya Citra Mandiri John Ratutaga, selaku kontraktor pelaksana pembangunan jembatan Puu Bheto, kejadian itu akibat faktor alam. ”Arus air sungai waktu kejadian amat kuat, tinggi air lebih dari 1 meter,” katanya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ende Agustinus Naga menyatakan, pihak kontraktor harus bertanggung jawab menyelesaikan proyek jembatan tersebut hingga tuntas.
Tanggul ambles
Bencana juga mengintip warga di sekitar daerah aliran sungai Bengawan Solo, khususnya di Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Tanggul di Desa Kedungharjo sepanjang 40 meter ambles sedalam 2 meter. Tanggul yang tersisa tinggal 1,5 meter-2 meter dan rawan jebol apabila Bengawan Solo meluap.
”Kami berharap Balai Besar Bengawan Solo segera memperbaiki karena jaraknya hanya 5 meter dari permukiman,” kata Camat Widang Bambang Dwijono, Senin.
Menurut Bambang, tanggul ambles akibat permukaan air sungai sempat tinggi dan pintu air bendung gerak di Babat dibuka semua. Setelah mengalami kemarau panjang, tanggul merekah diterpa panas. Saat terendam air, tanggul langsung ambles.
Untuk memperkokoh, tanggul hanya dipasangi tiang pancang ditambah anyaman bambu dan kawat beronjong. Warga Widang yang bermukim di sepanjang Sungai Bengawan Solo dikerahkan untuk meninggikan tanggul.
Warga meninggikan tanggul sepanjang 13 kilometer mulai dari Desa Patihan sampai Simorejo. Peninggian tanggul dengan karung plastik diisi tanah dan pasir diperkuat anyaman bambu untuk mengantisipasi agar tidak terjadi banjir besar seperti akhir tahun lalu.
Curah hujan di Jawa Barat hingga akhir Desember 2008 diperkirakan mencapai 13 mm per hari. Hal itu dikemukakan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaludin, Senin. Curah hujan baru turun pada Januari 2009, sekitar 11 mm per hari.
Menurut Thomas, curah hujan itu terbilang kecil dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Curah hujan bulan Desember di Kalimantan, misalnya, diperkirakan mencapai 17 mm per hari. Bahkan, di Papua curah hujan mencapai 19 mm per hari dan meningkat menjadi 21 mm per hari pada Januari 2009.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengharapkan masyarakat di bantaran sungai berhati-hati. Curah hujan tinggi dikhawatirkan menyebabkan banjir dan tanah longsor. (WSI/ACI/CHE/SEM)
Selasa, 9 Desember 2008 | 03:00 WIB

Tidak ada komentar: