Keinginan untuk melihat dunia, mempertemukan Uli Kozok dengan Indonesia. Selepas menamatkan sekolah menengah atas, Ketua Departemen Bahasa Indonesia Universitas Hawaii di Honolulu, Amerika Serikat, ini awalnya hanya ingin mengunjungi kerabatnya di Australia.
”Di peta saya lihat Indonesia, saya putuskan singgah di negara ini,” ujar Uli yang cintanya pada Indonesia berawal dari kebetulan. Saat mengunjungi Medan tahun 1981, teman seperjalanan Uli sakit. Dia menunda pergi ke Australia dan memutuskan tinggal sementara di Medan.
Selama itu Uli mengisi waktu dengan belajar bahasa dan budaya setempat. Sekembalinya dari Indonesia, Uli yang saat itu belajar arkeologi di Universitas Hamburg menghadiri simposium tentang kebudayaan dan bahasa di Sumatera Utara yang dihadiri pakar dari Jerman dan negara lain. Sejak itu ia tertarik mempelajari budaya dan bahasa Batak.
”Menemani teman seperjalanan yang sakit, itu kebetulan saya yang pertama. Awalnya saya tertarik bahasa Karo, kemudian saya belajar bahasa Toba, Angkola-Mandailing, dan Pakpak. Lalu, saya putuskan untuk belajar pada Jurusan Bahasa dan Budaya Austronesia,” ujarnya.
Guru pertama Uli, Profesor Reiner Carle, filolog yang ahli bahasa Batak. Secara kebetulan Uli mendapat beasiswa Pemerintah Jerman, DAAD (Deutsche Akademischer Austauschdienst) tahun 1983-1985 untuk menjadi mahasiswa tamu di jurusan Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara (USU).
Saat itu Uli menilai kondisi perkuliahan Jurusan Sastra Daerah USU sangat memprihatinkan. ”Praktis saya enggak dapat apa-apa selama belajar. Banyak mahasiswa dan dosen yang kurang paham naskah Batak,” katanya.
Menurut Uli, kelangkaan sumber naskah Batak di Medan dan kota lain di Sumut yang menyebabkan kondisi tersebut. ”Koleksi naskah Batak di Jerman hampir 600, di Belanda jumlahnya ribuan, sedangkan di Indonesia mungkin hanya 200-an,” kata Uli.
Bahasa dan budaya Karo, yang menjadi awal ketertarikan Uli, dia teruskan dengan meneliti bilangbilang, puisi percintaan masyarakat Karo yang ditulis pada bambu. Ada sekitar 125 naskah dari sekitar 20 koleksi bilangbilang di seluruh dunia. Ia terjemahkan puisi itu dalam bahasa Jerman dan dianalisis dalam kaitan fungsi aksara pada masyarakat Karo.
”Bilangbilang itu ditulis bukan untuk dibaca karena sangat kecil hurufnya. Tetapi, hampir semua masyarakat Karo yang mengerti tentang bilangbilang pasti tahu apa yang tertulis di dalamnya,” ujar Uli.
Disertasi tentang bilangbilang mengantar Uli meraih gelar Master Artium di Universitas Hamburg tahun 1989. Pada tahun itu pula ia menikahi teman kuliah semasa di USU, Febrina Marisa.
Huruf Batak di komputer
Uli melanjutkan studi doktoral dengan tema sama, puisi percintaan pada masyarakat Batak. Kali ini tak hanya bilangbilang dari Karo, tetapi ditambah andung dari Mandailing. Masa saat ia mengambil studi doktoral ini, menurut Uli, adalah masa paling sengsara dalam hidupnya.
”Saya tidak punya pekerjaan, sementara harus menghidupi istri dan membiayai kuliah doktoral,” katanya.
Pada saat itulah ibu angkatnya, Hildegard Peters, memperkenalkan Uli dengan Pater Matthaus, pastor yang juga kolektor lukisan. Ibu angkatnya adalah pelukis, yang karyanya dibeli Pater Matthaus.
”Salah satu karya ibu angkat itu lukisan saya saat masih kecil. Sebelum bertemu Pater Matthaus, saya dapat surat dari beliau. Dalam surat itu disertakan uang 500 DM.”
Uang itu digunakan Uli menyambung hidup selama menekuni naskah Batak di perpustakaan KITLV Universitas Leiden, Belanda. Ia kadang terpaksa menumpang makan kepada mahasiswa asal Indonesia, Ema Nababan. Gelar doktor diraihnya tahun 1993.
Setahun kemudian surat lamaran Uli untuk mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Auckland, Selandia Baru, diterima. Itu pun kebetulan karena dosen utamanya, seorang Belanda, langsung menerima dia sebagai asisten.
Tahun 1998 Uli bertemu Michael Everson, ahli linguistik sekaligus desainer jenis huruf (font) untuk komputer dan media digital. Michael meminta Uli membuat software agar aksara Batak bisa ditulis dalam sebuah komputer. Ia lalu meneliti berbagai naskah dan pustaka Batak.
Dari empat jenis aksara Batak, yakni Mandailing, Toba, Pakpak, dan Karo, ia lalu membuat varian yang paling umum dari keempatnya. Dengan software itu, orang yang tak mengerti aksara Batak bisa menulis menggunakan huruf Batak di komputer.
Penelusuran yang ia lakukan dari sejarah dan penyebaran aksara Batak mempertemukan Uli dengan naskah tua Melayu yang ditulis dengan huruf dari rumpun yang sama, surat (huruf) Pascapalawa. Surat Pascapalawa atau dikenal sebagai aksara Kawi ada hampir di seluruh Sumatera, mulai dari Lampung, Rejang-Lebong, Kerinci, Minangkabau, hingga Mandailing.
Lebih lanjut, penelusuran ini mempertemukannya dengan Kitab Undang-undang Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua. Naskah ini ditemukan Petrus Voorhoeve, pegawai bahasa zaman Belanda pada 1941. Naskah Melayu tertua itu sempat menghilang puluhan tahun sebelum ditemukan kembali tahun 2002.
Naskah itu sempat mengalami masa perang Belanda-Jepang, perang revolusi merebut kemerdekaan, sampai gempa bumi. Namun, kondisinya tetap seperti yang digambarkan Voorhoeve ketika Uli menemukannya di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
”Waktu itu saya sedang meneliti paleografi aksara surat di Sumatera,” tutur Uli dalam dialog dengan peserta Ekspedisi Pamalayu di Kanagarian Siguntur Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, akhir Desember 2007.
Ia mengungkapkan, penulis naskah Tanjung Tanah adalah Dipati Kuja Ali, petinggi Kerajaan Malayu. Penulisan naskah itu diperkirakan saat Adityawarman memerintah Kerajaan Malayu atau sekitar abad XIV.
Nama perkampungan
Secara umum, naskah Tanjung Tanah berisi undang-undang yang mengatur kehidupan sehari-hari warga Kerinci serta denda yang dijatuhkan kepada pelanggar. Ukuran denda masa itu bervariasi, mulai dari kupang, mas, tahil, hingga kati.
Tanjung Tanah adalah nama sebuah perkampungan di Kerinci. Ditunjang dengan hawa yang memadai, sebab Tanjung Tanah terletak 800 meter di atas permukaan laut, naskah ini bertahan hingga ratusan tahun. ”Waktu itu, tahun 2002, saya sudah menduga naskah ini dibuat sekitar abad XIV,” katanya.
Sebagian besar pakar aksara dan sejarawan yang ditemui Uli meragukan pendapatnya. Mereka berprinsip tak ada naskah sebelum abad XV. Setahun setelah naskah ditemukan, ia kembali mendatangi pemilik naskah. Ia bermaksud meminta sedikit sampel kertas naskah untuk diuji di laboratorium.
Dari pemeriksaan di Rafter Radiocarbon Laboratory, Wellington, Selandia Baru, diperkirakan naskah itu berusia lebih dari 600 tahun. Voorhoeve pun menduga naskah ini ditulis sebelum agama Islam sampai ke pelosok Melayu.
”Saya memperkirakan naskah ditulis pada masa kejayaan Adityawarman, sekitar tahun 1345-1377,” ujarnya.
Aksara yang digunakan dalam naskah Tanjung Tanah juga unik karena tak menggunakan aksara Palawa, tetapi Pascapalawa. Dari penelitian Tokyo Restoration & Conservation Center, Oktober 2004, diperkirakan Sumatera sudah memproduksi kertas berbahan baku batang pohon Daluang (Broussonetia papyrifera Vent).
Kompas/Khaerudin / Kompas Images
Selasa, 22 januari 2008 | 09:55 WIB
KHAERUDIN dan AGNES RITA SULISTYAWATY
Rabu, 10 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar