Dibutuhkan Kebijakan Baru Pariwisata
Samosir, Kompas, 13 Desember 2005 - Kawasan pariwisata Danau Toba di Sumatera Utara membutuhkan kebijakan baru yang mendasar dari pemerintah. Itu dibutuhkan untuk memulihkan kondisi pariwisata Danau Toba yang sampai sekarang masih belum pulih sejak terjadinya krisis moneter beberapa waktu lalu.
Pemerintah seharusnya membuka jalur penerbangan langsung dari berbagai kota wisata di Asia Tenggara ke Medan tanpa perlu transit di Jakarta. Perlu kebijakan baru dari pemerintah untuk membangkitkan Danau Toba, kata Maranti Tobing, pelaku pariwisata yang ditemui di Samosir, Minggu (11/12).
Tingkat kunjungan wisatawan ke Danau Toba sampai kini belum menunjukkan perbaikan. Padahal, sebelum krisis melanda Indonesia pada tahun 1997, Danau Toba merupakan salah satu daerah tujuan wisata favorit dunia.
Saat ini, kata Maranti, pemerintah terlalu terkonsentrasi mempromosikan Bali dengan melupakan daerah yang lain. Akibatnya, pariwisata Danau Toba tidak pernah pulih sampai sekarang.
Saat ini Bangkok merupakan salah satu tempat tujuan wisata internasional di Asia Tenggara. Jika pemerintah membuka jalur penerbangan langsung dari Bangkok ke Medan, maka turis asing akan lebih banyak yang datang ke Sumatera Utara.
Menurut Maranti, selama ini pariwisata Samosir sangat mengandalkan kunjungan wisatawan asing. Akan tetapi, sampai sekarang tingkat hunian kamar hotel di Samosir masih berkutat pada angka 10 persen per tahun. Angka ini anjlok dari kondisi sebelum krisis moneter yang saat itu bertahan di atas 50 persen setahun.
Suasana lengang
Sebelum tahun 1997 jumlah wisatawan ke Samosir mencapai sedikitnya 35.000 orang per tahun. Saat ini pelaku pariwisata Samosir hanya berharap pada kunjungan yang jumlahnya kurang dari lima wisatawan asing per hari.
Hasil pemantauan Kompas, suasana di Parapat dan Samosir saat ini lengang dari wisatawan. Tidak terlihat kepadatan pengunjung, baik di jalanan maupun di hotel-hotel.
Begitu pula dengan suasana di pelabuhan penyeberangan dari Tigaraja, Parapat, ke Samosir pun juga sepi. Kapal penyeberangan berkapasitas 100 penumpang yang berangkat setiap dua jam hanya mengangkut 5-10 penumpang dengan ongkos Rp 7.000 per orang setiap kali pemberangkatan.
Kunjungan wisatawan semakin sepi sekarang. Seharusnya pemerintah berbuat sesuatu agar pariwisata di Danau Toba kembali pulih seperti dulu, kata B Saragi (44), nakhoda kapal penyeberangan. (ham)
Rabu, 09 Juni 2010
Rabu, 10 Juni 2009
Pusuk Buhit Asal Muasal Orang Batak
MENGITARI Samosir kurang lengkap rasanya jika tak mampir ke Pusuk Buhit. Gunung nan menjulang tinggi itu bukan lagi di kawasan Pulau Samosir, tapi sudah ada di daratan Sumatera. Sebab, dari sembilan kecamatan yang dimiliki Kabupaten Pulo Samosir, tiga di antaranya berada di luar lingkar Danau Toba, yaitu Kecamatan Sianjur mula-mula, Harian dan Sitiotio. Sedangkan Pusuk Buhit masuk Kecamatan Sianjur mula- mula. Terletak di ketinggian 4.000 mdpl, Pusuk Buhit diyakini sebagai tempat asal-muasalnya manusia Batak pertama.
Legenda bercerita, pada awalnya Debata Mulajadi Na Bolon, menurunkan dua anak kembar yaitu Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisia. Dari generasi pertama ini lahir tiga anak yaitu Raja Miok -miok, Patundal Na Begu dan Si Aji Lapas-lapas.
Dari ketiga anak tersebut hanya raja Miok-miok memiliki keturunan yaitu Eng Banua.Generasi berikutnya Eng Domia atau Raja Bonang bonang yang menurunkan Raja Tantan Debata,Si Aceh dan Si Jau. Hanya Guru Tantan Debata pula yang memiliki keturunan yaitu Si Raja Batak.
Mulai dari garis Si Raja Batak, asal-usul manusia Batak bukan dianggap legenda lagi tapi menjadi ‘Tarombo’ atau permulaan silsilah. Pada generasi sekarang telah dikenal aksara atau lazim disebut Pustaha Laklak. Sebelum meninggal, Si Raja Batak sempat mewariskan ”Piagam Wasiat” kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.
Guru Tatea Bulan mendapat ”Surat Agung” yang berisi ilmu pedukunan atau kesaktian, pencak silat dan keperwiraan. Raja Isumbaon mendapat ”Tumbaga Holing”yang berisi kerajaan (Tatap- Raja ), hukum atau peradilan, persawahan, dagang dan seni mencipta. Guru Tatea Bulan memiliki sembilan anak yaitu Si Raja Biak-biak, Tuan Saribu Raja, Si Boru Pareme (putri), Limbong Mulana, Si Boru Anting Sabungan(putri), Sagala Raja, Si Boru Biding Laut (putri), Malau Raja dan Si Boru Nan Tinjo ( maaf, konon seorang banci yang dalam bahasa Batak disebut si dua jambar). Dari keturunan Guru Tatea Bulan terjadi pula perkawinan incest. Antara Saribu Raja dengan Si Boru Pareme. Ini yang menurunkan Si Raja Lontung yang kita kenal marga Sinaga, Nainggolan, Aritonang, Situmorang, dan seterusnya.
Legenda bercerita, pada awalnya Debata Mulajadi Na Bolon, menurunkan dua anak kembar yaitu Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisia. Dari generasi pertama ini lahir tiga anak yaitu Raja Miok -miok, Patundal Na Begu dan Si Aji Lapas-lapas.
Dari ketiga anak tersebut hanya raja Miok-miok memiliki keturunan yaitu Eng Banua.Generasi berikutnya Eng Domia atau Raja Bonang bonang yang menurunkan Raja Tantan Debata,Si Aceh dan Si Jau. Hanya Guru Tantan Debata pula yang memiliki keturunan yaitu Si Raja Batak.
Mulai dari garis Si Raja Batak, asal-usul manusia Batak bukan dianggap legenda lagi tapi menjadi ‘Tarombo’ atau permulaan silsilah. Pada generasi sekarang telah dikenal aksara atau lazim disebut Pustaha Laklak. Sebelum meninggal, Si Raja Batak sempat mewariskan ”Piagam Wasiat” kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.
Guru Tatea Bulan mendapat ”Surat Agung” yang berisi ilmu pedukunan atau kesaktian, pencak silat dan keperwiraan. Raja Isumbaon mendapat ”Tumbaga Holing”yang berisi kerajaan (Tatap- Raja ), hukum atau peradilan, persawahan, dagang dan seni mencipta. Guru Tatea Bulan memiliki sembilan anak yaitu Si Raja Biak-biak, Tuan Saribu Raja, Si Boru Pareme (putri), Limbong Mulana, Si Boru Anting Sabungan(putri), Sagala Raja, Si Boru Biding Laut (putri), Malau Raja dan Si Boru Nan Tinjo ( maaf, konon seorang banci yang dalam bahasa Batak disebut si dua jambar). Dari keturunan Guru Tatea Bulan terjadi pula perkawinan incest. Antara Saribu Raja dengan Si Boru Pareme. Ini yang menurunkan Si Raja Lontung yang kita kenal marga Sinaga, Nainggolan, Aritonang, Situmorang, dan seterusnya.
Pesona Lontung Luput Dari Perhatian
KAPAL yang membawa BATAKPOS menuju Lon tung merapat di Dermaga Tomok, Pulo Samosir. Jarak Tomok – Lontung kurang lebih 10 km. Lepas dari Tomok perjalanan awalnya mulus. Namun memasuki kawasan Desa Pangambatan, jalanan mulai berlobang-lobang.
Padahal pemandangan sesungguhnya mulai terlihat indah. Yang mengganggu mata, usaha kerambah ikan milik sebuah perusahaan asing bertebaran di sana-sini. Nagari Lontung terdiri dari beberapa desa seperti Pangambatan, Gajani Huta, Pangaloan, Pardomuan, Parmonangan, Parbalohan dan Silima Lombu.
Sedang Bontean ada di Desa Parmonangan, tak di tepi jalan memang. Kepala Desa Gimbet Situmorang dan Hot Tua Situmorang Ketua Karang Taruna setempat mengantar BATAKPOS ke tepi pantai. Tak jauh memang, tapi melewati persawahan yang tampak tinggal panen.
Berjumlah 12 buah, bontean tampak terpancang di tengah areal persawahan. Masing-masing enam di kiri dan kanan. Sementara di depan terlihat dua berukiran patung Gaja Dompak dan Cicak. Menurut kepercayaan orang Batak zaman dulu, binatang cicak adalah simbol atau perlambang kemakmuran dan kesejahtraan. Maka itu dalam berbagai ornament gorga khsusnya rumah Batak, cicak tak pernah ketinggalan.
Bontean selebihnya tampak polos tapi semuanya terbuat dari batu. “Kita tak tahu kapan dan bagaimana caranya nenek-moyang membuat bontean ini, “ujar Gimbet Situmorang. Menurut dia, turis Belanda sering mampir ke tempat itu. Entah dari mana pula mereka tahu informasinya.
Hot Tua menambahkan, letak bontean tersebut menandaskan betapa besarnya penyusutan air Danau Toba. “Sudah pasti air Danau Toba dulu sampai ke sini. Sekarang tepian sudah agak jauh. “tunjuknya.
Gimbet dan Hot Tua sama-sama berharap agar Pemerintah mau memberi perhatian terhadap situs tersebut serta perkembangan pembangunan Nagari Lontung. “Kami rela menghibakan sebagian tanah agar badan jalan diperlebar. Begitu juga jalan menuju dermaga, “imbau Hot Tua.
Dari pengamatan BATAKPOS, situs bontean sudah selayaknya mendapat perhatian dari Pemerintah. Kondisinya tampak merana. Karena tempatnya tidak mendapat perlindungan dari sengatan panas dan hujan, dikhawatirkan situs tersebut perlahan hancur. Gejala kini mulai tampak.
Dalam daftar objek kepariwisataan Samosir, situs bontean juga belum masuk. Padahal Nagori Lontung sebetulnya tak kalah menarik. Selain berupa situs, persawahan yang terhampar luas juga menjadi daya tarik tersendiri. Seperti di Bali dan Jawa misalnya, turis asing bahkan rela menginap di dangau dan ikut mengembala kerbau. Kenapa ya, Lontung dengan seribu pesonanya nan aduhai luput dari perhatian kita? Sarido Ambarita
Padahal pemandangan sesungguhnya mulai terlihat indah. Yang mengganggu mata, usaha kerambah ikan milik sebuah perusahaan asing bertebaran di sana-sini. Nagari Lontung terdiri dari beberapa desa seperti Pangambatan, Gajani Huta, Pangaloan, Pardomuan, Parmonangan, Parbalohan dan Silima Lombu.
Sedang Bontean ada di Desa Parmonangan, tak di tepi jalan memang. Kepala Desa Gimbet Situmorang dan Hot Tua Situmorang Ketua Karang Taruna setempat mengantar BATAKPOS ke tepi pantai. Tak jauh memang, tapi melewati persawahan yang tampak tinggal panen.
Berjumlah 12 buah, bontean tampak terpancang di tengah areal persawahan. Masing-masing enam di kiri dan kanan. Sementara di depan terlihat dua berukiran patung Gaja Dompak dan Cicak. Menurut kepercayaan orang Batak zaman dulu, binatang cicak adalah simbol atau perlambang kemakmuran dan kesejahtraan. Maka itu dalam berbagai ornament gorga khsusnya rumah Batak, cicak tak pernah ketinggalan.
Bontean selebihnya tampak polos tapi semuanya terbuat dari batu. “Kita tak tahu kapan dan bagaimana caranya nenek-moyang membuat bontean ini, “ujar Gimbet Situmorang. Menurut dia, turis Belanda sering mampir ke tempat itu. Entah dari mana pula mereka tahu informasinya.
Hot Tua menambahkan, letak bontean tersebut menandaskan betapa besarnya penyusutan air Danau Toba. “Sudah pasti air Danau Toba dulu sampai ke sini. Sekarang tepian sudah agak jauh. “tunjuknya.
Gimbet dan Hot Tua sama-sama berharap agar Pemerintah mau memberi perhatian terhadap situs tersebut serta perkembangan pembangunan Nagari Lontung. “Kami rela menghibakan sebagian tanah agar badan jalan diperlebar. Begitu juga jalan menuju dermaga, “imbau Hot Tua.
Dari pengamatan BATAKPOS, situs bontean sudah selayaknya mendapat perhatian dari Pemerintah. Kondisinya tampak merana. Karena tempatnya tidak mendapat perlindungan dari sengatan panas dan hujan, dikhawatirkan situs tersebut perlahan hancur. Gejala kini mulai tampak.
Dalam daftar objek kepariwisataan Samosir, situs bontean juga belum masuk. Padahal Nagori Lontung sebetulnya tak kalah menarik. Selain berupa situs, persawahan yang terhampar luas juga menjadi daya tarik tersendiri. Seperti di Bali dan Jawa misalnya, turis asing bahkan rela menginap di dangau dan ikut mengembala kerbau. Kenapa ya, Lontung dengan seribu pesonanya nan aduhai luput dari perhatian kita? Sarido Ambarita
Samosir Menuju Kabupatan Pariwisata 2010
Pemkab Samosir memproyeksikan daerahnya sebagai salah satu tujuan wisata andalan di Sumatera Utara pada 2010. Sebab, Samosir yang berada di tengah-tengah Danau Toba, selain sangat tepat menjadi sentral pengembangan objek pariwisata Sumut, juga sangat tepat menjadi pusat kebudayaan Batak dengan mengemas nilai-nilai spritual di Pusuk Buhit.
Hal ini dikemukakan Bupati Samosir Mangindar Simbolon kepada Gubernur Sumut H Syamsul Arifin di Gubernuran Medan, Jumat (29/5), saat mempresentasikan Grand Strategi Pengelolaan Koloboratif Pembangunan Kabupaten Samosir dalam Mewujudkan Kabupaten Pariwisata 2010.
“Selama ini, kegiatan wisata di sana selalu dimulai dari tempat kematian, yakni dari makam keturunan Raja Sidabutar. Konsep seperti ini kami nilai salah. Yang sebaiknya adalah memulainya dari sumber kehidupan, yakni Pusuk Buhit,” ucap Simbolon memulai presentasinya.
Presentasi itu turut dihadiri Kepala Bappeda Sumut Riadil Akhir Lubis, Kadis Pariwisata Sumut Nurlisa Ginting, Kadis Kehutanan Sumut JB Siringoringo, dan Kadis PU Bina Marga Sumut Umar Zunaidi Hasibuan. Pada kesempatan itu Mangindar mengaku, pengembangan dan arah kebijakan objek wisata di Samosir yang menjual nilai-nilai eksotis Danau Toba selama ini sudah jauh melenceng dari arah yang sebenarnya harus dilakukan.
Beberapa indikator arah pembangunan menuju kabupaten pariwisata 2010 yang perlu diperhatikan, menurut Simbolon, antara lain pembangunan jalan lingkar dalam Danau Toba (Inner Ring Road Danau Toba/IRRDT) di Pulau Samosir. Kondisi IRRDT itu menurutnya hanya butuh solusi penangaanan antara ruas Onangrungu–Pangururan–ke lokasi Hot Spring. Sebab, jalur ini merupakan daerah patahan gempa.
Sedangkan kondisi jalan lingkar luar Danau Toba atau Outer Ring Road Danau Toba (ORRDT) sepanjang 248,53 kilometer, menurut Simbolon, sampai kini terus dipacu realisasinya. Megaproyek yang merupakan tindak lanjut Deklarasi Kesepakatan Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (Lake Toba Ecosystem Managemen Plant/LTEM) berbiaya sedikitnya Rp385,3 miliar itu sejak 2006 telah disepakati pekerjaannya oleh Pemprov Sumut dengan pemerintah tujuh kabupaten.
Skema pendanaannya adalah 60 persen dari APBN, 20 persen APBD Sumut, dan 20 persen oleh ABPD tujuh kabupaten. Ketujuh kabupaten itu adalah Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Humbang Hasundutan, Dairi, dan Karo. “Sampai kini, tujuh kabupaten sudah sepakat menandatangani nota kesepahaman terkait promosi Danau Toba. Bahwa objek wisata itu akan ditangani sepenuhnya oleh swasta profesional dalam sebuah organisasi bernama Danau Toba Tourism Board (Badan Pariwisata Danau Toba). Ini merupakan salah satu poin dalam grand strategi tadi,” ungkap Simbolon
Tanggapan Pemprov Sumut melalui Gubsu Syamsul Arifin, pada prinsipnya mendukung konsep pembangunan tersebut. Namun demikian, sejumlah SKPD di Pemprov Sumut menekankan agar konsep itu tidak hanya mengembangkan potensi alam semata. Tetapi juga mengembangkan SDM, khususnya orang Batak di kampung halaman agar bisa meningatkan citra sadar wisata.
“Konsep seperti Samosir ini mudah-mudahan diikuti daerah lainnya. Sehingga Samosir sebagai jarumnya, dan lainnya sebagai benangnya. Kepada masyarakat, saya mohon untuk memberikan dukungan, dan pemda juga jangan jalan sendiri-sendiri,” ucap Syamsul. zul
Sumber: batak Pos, Senin, 1 Juni 2009.
Hal ini dikemukakan Bupati Samosir Mangindar Simbolon kepada Gubernur Sumut H Syamsul Arifin di Gubernuran Medan, Jumat (29/5), saat mempresentasikan Grand Strategi Pengelolaan Koloboratif Pembangunan Kabupaten Samosir dalam Mewujudkan Kabupaten Pariwisata 2010.
“Selama ini, kegiatan wisata di sana selalu dimulai dari tempat kematian, yakni dari makam keturunan Raja Sidabutar. Konsep seperti ini kami nilai salah. Yang sebaiknya adalah memulainya dari sumber kehidupan, yakni Pusuk Buhit,” ucap Simbolon memulai presentasinya.
Presentasi itu turut dihadiri Kepala Bappeda Sumut Riadil Akhir Lubis, Kadis Pariwisata Sumut Nurlisa Ginting, Kadis Kehutanan Sumut JB Siringoringo, dan Kadis PU Bina Marga Sumut Umar Zunaidi Hasibuan. Pada kesempatan itu Mangindar mengaku, pengembangan dan arah kebijakan objek wisata di Samosir yang menjual nilai-nilai eksotis Danau Toba selama ini sudah jauh melenceng dari arah yang sebenarnya harus dilakukan.
Beberapa indikator arah pembangunan menuju kabupaten pariwisata 2010 yang perlu diperhatikan, menurut Simbolon, antara lain pembangunan jalan lingkar dalam Danau Toba (Inner Ring Road Danau Toba/IRRDT) di Pulau Samosir. Kondisi IRRDT itu menurutnya hanya butuh solusi penangaanan antara ruas Onangrungu–Pangururan–ke lokasi Hot Spring. Sebab, jalur ini merupakan daerah patahan gempa.
Sedangkan kondisi jalan lingkar luar Danau Toba atau Outer Ring Road Danau Toba (ORRDT) sepanjang 248,53 kilometer, menurut Simbolon, sampai kini terus dipacu realisasinya. Megaproyek yang merupakan tindak lanjut Deklarasi Kesepakatan Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (Lake Toba Ecosystem Managemen Plant/LTEM) berbiaya sedikitnya Rp385,3 miliar itu sejak 2006 telah disepakati pekerjaannya oleh Pemprov Sumut dengan pemerintah tujuh kabupaten.
Skema pendanaannya adalah 60 persen dari APBN, 20 persen APBD Sumut, dan 20 persen oleh ABPD tujuh kabupaten. Ketujuh kabupaten itu adalah Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Humbang Hasundutan, Dairi, dan Karo. “Sampai kini, tujuh kabupaten sudah sepakat menandatangani nota kesepahaman terkait promosi Danau Toba. Bahwa objek wisata itu akan ditangani sepenuhnya oleh swasta profesional dalam sebuah organisasi bernama Danau Toba Tourism Board (Badan Pariwisata Danau Toba). Ini merupakan salah satu poin dalam grand strategi tadi,” ungkap Simbolon
Tanggapan Pemprov Sumut melalui Gubsu Syamsul Arifin, pada prinsipnya mendukung konsep pembangunan tersebut. Namun demikian, sejumlah SKPD di Pemprov Sumut menekankan agar konsep itu tidak hanya mengembangkan potensi alam semata. Tetapi juga mengembangkan SDM, khususnya orang Batak di kampung halaman agar bisa meningatkan citra sadar wisata.
“Konsep seperti Samosir ini mudah-mudahan diikuti daerah lainnya. Sehingga Samosir sebagai jarumnya, dan lainnya sebagai benangnya. Kepada masyarakat, saya mohon untuk memberikan dukungan, dan pemda juga jangan jalan sendiri-sendiri,” ucap Syamsul. zul
Sumber: batak Pos, Senin, 1 Juni 2009.
Masih Banyak Keindahan di Toba
Heran, di Medan tidak banyak orang yang antusias dengan Danau Toba. Danau terbesar di Asia Tenggara itu menyimpan gambaran ”kotor”, ”penuh keramba”, hingga ”hutan yang sudah gundul”. Seorang guru SMA mengatakan, pelayanan warga kepada wisatawan di Parapat tidak bagus. Orang membeli mangga bisa kena tipu. Aufrida Wismi Warastri & Edna C Pattisina
Untunglah seorang kawan berkata, ”Danau Toba itu luas, kita masuk dari sisi lain.”
Kata-kata itu menguatkan niat kami, apalagi ditambah kenangan tentang idola masa kecil, Julius Sitanggang, yang suaranya masih terngiang-ngiang di telinga: Danau Toba… oh Danau Toba… danau indah dan permai….
Berangkat hari Minggu pagi, dari Medan kami menuju Sidikalang, Kabupaten Dairi, untuk bertemu beberapa teman. Setelah itu menuju Tele, salah satu sudut terbaik untuk melihat Danau Toba. Di Sidikalang, kami mendapat informasi keberadaan danau di atas Danau Toba, danau di Pulau Samosir. Danau Sidihoni namanya. Sebuah imaji yang menjadi cita-cita perjalanan ini.
Perjalanan kami lanjutkan setelah sempat bimbang melihat beberapa truk mengangkut durian Sidikalang yang tersohor itu. Beli… tidak... beli... tidak…. ”Ada juga kok di Medan, malah sudah dibungkus kotak plastik, berlapis-lapis, siap masuk ke pesawat,” kata Maringan S Pardede, warga Sidikalang.
Jalan antara Sidikalang dan Tele melewati perkebunan kopi dan jeruk, berselang-seling dengan padang tempat kuda merumput di samping anak-anak yang bersuka ria, bercanda sambil mandi-mandi di air yang jernih.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 lewat, saat sesekali, sedikit demi sedikit, Danau Toba menampilkan dirinya, di antara perbukitan. Suasana jadi misterius sekaligus puitis.
Tele adalah salah satu sudut terbaik bagi umum untuk melihat Danau Toba. Sebuah menara pandang berdiri di sudutnya. Di sisi kiri tampak Gunung Pusuk Buhit, gunung mitologi Batak, yang diselimuti kabut dan awan. Di sisi kanan beberapa air terjun dari tebing Danau Toba mengalir. Di depan menara, Danau Toba terbentang. Hujan rintik-rintik turun, dingin, tetapi tak menusuk.
Beberapa orang yang datang ke Tele sering bergumam, Tele mengingatkan mereka pada pegunungan dalam film Lords of the Ring.
Hari itu jalan dari Tele ke Pulau Samosir yang menuruni bukit tengah diperlebar. Keamanan pengendara jadi taruhan. Tebing batu di sisi kiri rawan longsor, sementara jurang puluhan meter menganga di sebelah kanan. Jalanan bergeronjal, rusak. Sayang, keindahan Danau Toba menyembunyikan maut akibat infrastruktur yang buruk.
Sup ikan
Matahari nyaris tenggelam ketika tiba-tiba kami merasa mobil terguncang aneh di jalan rata. Sebuah insiden terjadi: ban mobil kami pecah. Jujur, kami tidak tahu yang namanya dongkrak, apalagi tempat ban cadangan. Beruntung, seorang pemuda asal Medan yang kebetulan lewat dengan inang dan tulang-nya rela berselonjor di bawah mobil mencari pengait ban cadangan yang telah berkarat dan membantu kami mengganti ban.
Sekitar pukul tujuh malam kami tiba di Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir. Kami menginap di Ambarita, disambut Jumaga Gultom, tuan rumah yang mengajak mengobrol di teras dengan suara latar empasan air Danau Toba yang berjarak dua meter dari tempat kami duduk.
Istri Jumaga, Masrida Sihombing, menghidangkan menu hari itu, sop ikan Danau Toba, yang baru dibuat karena memang hanya kami tamunya pada hari yang dingin itu. Tidak ada lagi yang kurang, setelah semangkuk panas sop ikan mujair dengan potongan tomat segar dimakan bersama nasi hangat.
Obrolan pun mengalir ke sana-kemari, dari air danau yang naik beberapa meter belakangan ini, sampai pada turis mancanegara yang tidak pernah kembali sejak tragedi bom Bali. Turis domestik cukup banyak, tetapi kebanyakan berhenti di Parapat.
Sempat kami berpandangan saat empunya rumah bercerita tentang Danau Sidihoni. ”Sebenarnya bisa cuma setengah jam dari Pangururan, tetapi karena jalan rusak dua jam pun bisa lebih,” kata dia. Dalam hati saya berkata, ban bisa pecah lagi, nih.
Kami berangkat pukul enam pagi ke Sidihoni. Di huta-huta alias desa-desa di sepanjang jalan, wajah-wajah anak kecil muncul dari rumah adat, sementara ibu mereka menyapu di halaman rumah. Ladang dan makam tempat tulang-belulang para leluhur Batak yang dikubur kembali saat upacara Mangongkal Holi berjejer di tepi jalan.
”Boru apa kau, inang?” Ringan sebuah teguran meluncur yang dengan mudah berlanjut ke percakapan panjang tentang suami, istri, anak, cucu, hingga kehidupan. Perjalanan kami terasa sederhana, tetapi nyata, masuk ke dalam kehidupan para inang dan amang di Samosir, bukan sekadar menonton sesuatu yang artifisial.
Perjalanan dari Pangururan ke Danau Sidihoni melewati jalan menanjak yang bukan saja rusak parah, tetapi hancur lebur. Jalan tujuh kilometer perlu ditempuh dalam waktu dua jam. Untungnya, pemandangan Danau Toba dari atas sangat indah. Danau Toba bahkan terlihat dalam sudut 180 derajat melebar. Hutan pinus serta bunga-bunga liar ada di sepanjang jalan.
Sidihoni
Di tengah padang rumput dan ladang, muncullah Danau Sidihoni, danau di atas Danau Toba itu. Di tepian danau yang berujud bukit tampak sebuah gereja tua mungil.
Tidak ada kesibukan wisata di sekitar danau yang sunyi sepi. Hanya sebuah warung kopi dengan beberapa pria yang asyik menongkrong dengan meja biliar dan segelas kopi. ”Dulu sering ada turis bule kemah di sini, mereka suka berenang di danau,” kata Naibaho, warga setempat.
Danau Sidihoni terletak di tengah padang rumput di Desa Ronggur Nihuta, desa tertinggi di Samosir yang terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter. Menurut Maruhum Simalango (73), tetua masyarakat, kawasan itu tadinya hutan belukar. Rawa yang ada di tengah hutan belukar itu kemudian berubah menjadi danau. Itu terjadi ratusan tahun lalu.
Maruhum berkisah, ada cerita di balik ketenangan air danau yang luas maksimalnya bisa mencapai 5 hektar dengan kedalaman 90 meter ini. Sesekali danau ini terlihat bening sehingga mengundang para turis berenang.
Ada saat-saat istimewa ketika perubahan warna danau mengikuti kondisi republik ini. ”Pernah dua kali danau ini berwarna merah, waktu 30 September 1965 dan waktu Soeharto turun,” kata Marihun.
Saat kami berada di sana, tepat pada hari kedua kampanye pemilu legislatif (17/3), air danau yang susut itu berwarna coklat keruh. Entah apa artinya....
Minggu, 12 April 2009 | 03:19 WIB
Untunglah seorang kawan berkata, ”Danau Toba itu luas, kita masuk dari sisi lain.”
Kata-kata itu menguatkan niat kami, apalagi ditambah kenangan tentang idola masa kecil, Julius Sitanggang, yang suaranya masih terngiang-ngiang di telinga: Danau Toba… oh Danau Toba… danau indah dan permai….
Berangkat hari Minggu pagi, dari Medan kami menuju Sidikalang, Kabupaten Dairi, untuk bertemu beberapa teman. Setelah itu menuju Tele, salah satu sudut terbaik untuk melihat Danau Toba. Di Sidikalang, kami mendapat informasi keberadaan danau di atas Danau Toba, danau di Pulau Samosir. Danau Sidihoni namanya. Sebuah imaji yang menjadi cita-cita perjalanan ini.
Perjalanan kami lanjutkan setelah sempat bimbang melihat beberapa truk mengangkut durian Sidikalang yang tersohor itu. Beli… tidak... beli... tidak…. ”Ada juga kok di Medan, malah sudah dibungkus kotak plastik, berlapis-lapis, siap masuk ke pesawat,” kata Maringan S Pardede, warga Sidikalang.
Jalan antara Sidikalang dan Tele melewati perkebunan kopi dan jeruk, berselang-seling dengan padang tempat kuda merumput di samping anak-anak yang bersuka ria, bercanda sambil mandi-mandi di air yang jernih.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 lewat, saat sesekali, sedikit demi sedikit, Danau Toba menampilkan dirinya, di antara perbukitan. Suasana jadi misterius sekaligus puitis.
Tele adalah salah satu sudut terbaik bagi umum untuk melihat Danau Toba. Sebuah menara pandang berdiri di sudutnya. Di sisi kiri tampak Gunung Pusuk Buhit, gunung mitologi Batak, yang diselimuti kabut dan awan. Di sisi kanan beberapa air terjun dari tebing Danau Toba mengalir. Di depan menara, Danau Toba terbentang. Hujan rintik-rintik turun, dingin, tetapi tak menusuk.
Beberapa orang yang datang ke Tele sering bergumam, Tele mengingatkan mereka pada pegunungan dalam film Lords of the Ring.
Hari itu jalan dari Tele ke Pulau Samosir yang menuruni bukit tengah diperlebar. Keamanan pengendara jadi taruhan. Tebing batu di sisi kiri rawan longsor, sementara jurang puluhan meter menganga di sebelah kanan. Jalanan bergeronjal, rusak. Sayang, keindahan Danau Toba menyembunyikan maut akibat infrastruktur yang buruk.
Sup ikan
Matahari nyaris tenggelam ketika tiba-tiba kami merasa mobil terguncang aneh di jalan rata. Sebuah insiden terjadi: ban mobil kami pecah. Jujur, kami tidak tahu yang namanya dongkrak, apalagi tempat ban cadangan. Beruntung, seorang pemuda asal Medan yang kebetulan lewat dengan inang dan tulang-nya rela berselonjor di bawah mobil mencari pengait ban cadangan yang telah berkarat dan membantu kami mengganti ban.
Sekitar pukul tujuh malam kami tiba di Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir. Kami menginap di Ambarita, disambut Jumaga Gultom, tuan rumah yang mengajak mengobrol di teras dengan suara latar empasan air Danau Toba yang berjarak dua meter dari tempat kami duduk.
Istri Jumaga, Masrida Sihombing, menghidangkan menu hari itu, sop ikan Danau Toba, yang baru dibuat karena memang hanya kami tamunya pada hari yang dingin itu. Tidak ada lagi yang kurang, setelah semangkuk panas sop ikan mujair dengan potongan tomat segar dimakan bersama nasi hangat.
Obrolan pun mengalir ke sana-kemari, dari air danau yang naik beberapa meter belakangan ini, sampai pada turis mancanegara yang tidak pernah kembali sejak tragedi bom Bali. Turis domestik cukup banyak, tetapi kebanyakan berhenti di Parapat.
Sempat kami berpandangan saat empunya rumah bercerita tentang Danau Sidihoni. ”Sebenarnya bisa cuma setengah jam dari Pangururan, tetapi karena jalan rusak dua jam pun bisa lebih,” kata dia. Dalam hati saya berkata, ban bisa pecah lagi, nih.
Kami berangkat pukul enam pagi ke Sidihoni. Di huta-huta alias desa-desa di sepanjang jalan, wajah-wajah anak kecil muncul dari rumah adat, sementara ibu mereka menyapu di halaman rumah. Ladang dan makam tempat tulang-belulang para leluhur Batak yang dikubur kembali saat upacara Mangongkal Holi berjejer di tepi jalan.
”Boru apa kau, inang?” Ringan sebuah teguran meluncur yang dengan mudah berlanjut ke percakapan panjang tentang suami, istri, anak, cucu, hingga kehidupan. Perjalanan kami terasa sederhana, tetapi nyata, masuk ke dalam kehidupan para inang dan amang di Samosir, bukan sekadar menonton sesuatu yang artifisial.
Perjalanan dari Pangururan ke Danau Sidihoni melewati jalan menanjak yang bukan saja rusak parah, tetapi hancur lebur. Jalan tujuh kilometer perlu ditempuh dalam waktu dua jam. Untungnya, pemandangan Danau Toba dari atas sangat indah. Danau Toba bahkan terlihat dalam sudut 180 derajat melebar. Hutan pinus serta bunga-bunga liar ada di sepanjang jalan.
Sidihoni
Di tengah padang rumput dan ladang, muncullah Danau Sidihoni, danau di atas Danau Toba itu. Di tepian danau yang berujud bukit tampak sebuah gereja tua mungil.
Tidak ada kesibukan wisata di sekitar danau yang sunyi sepi. Hanya sebuah warung kopi dengan beberapa pria yang asyik menongkrong dengan meja biliar dan segelas kopi. ”Dulu sering ada turis bule kemah di sini, mereka suka berenang di danau,” kata Naibaho, warga setempat.
Danau Sidihoni terletak di tengah padang rumput di Desa Ronggur Nihuta, desa tertinggi di Samosir yang terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter. Menurut Maruhum Simalango (73), tetua masyarakat, kawasan itu tadinya hutan belukar. Rawa yang ada di tengah hutan belukar itu kemudian berubah menjadi danau. Itu terjadi ratusan tahun lalu.
Maruhum berkisah, ada cerita di balik ketenangan air danau yang luas maksimalnya bisa mencapai 5 hektar dengan kedalaman 90 meter ini. Sesekali danau ini terlihat bening sehingga mengundang para turis berenang.
Ada saat-saat istimewa ketika perubahan warna danau mengikuti kondisi republik ini. ”Pernah dua kali danau ini berwarna merah, waktu 30 September 1965 dan waktu Soeharto turun,” kata Marihun.
Saat kami berada di sana, tepat pada hari kedua kampanye pemilu legislatif (17/3), air danau yang susut itu berwarna coklat keruh. Entah apa artinya....
Minggu, 12 April 2009 | 03:19 WIB
Lingkungan Toba Rusak
Gelombang Tinggi di Selat Sunda
Medan, Kompas - Hujan yang turun berhari-hari di kawasan Danau Toba ditambah kerusakan hutan di Sumatera diduga menjadi penyebab naiknya permukaan air Danau Toba mencapai puncak tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Akibatnya, Kabupaten Toba Samosir dan Samosir yang berada di bibir danau kebanjiran.
Banjir juga melanda daerah yang dilewati air danau melalui Sungai Asahan ke Selat Malaka yakni Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten Batu Bara.
Elevasi Danau Toba pada Selasa (9/12) menurut Badan Otorita Asahan mencapai +905,153 meter dengan buangan melalui dam pengatur Siruar mencapai 260,5 ton per detik, dua kali lipat pembuangan biasanya yang rata-rata 110 ton per detik.
Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait mengatakan, pihaknya belum bisa membuka pintu dam terlalu lebar karena Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai akan makin kebanjiran.
Penggiat Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Bungaran Antonius Simanjuntak dan tokoh masyarakat Parmalim Balige Monang Naipospos mengatakan, fungsi hutan sebagai penahan air semakin menurun. Di sisi lain, fungsi danau sebagai penampung air tereduksi oleh sedimentasi.
Sementara itu, Kepala Kelompok Data dan Prakiraan Stasiun Meteorologi Maritim Panjang, Bandar Lampung, Neneng Kusrini, memperingatkan adanya konvergensi (pertemuan angin) di barat daya Selat Sunda yang berpotensi menimbulkan gelombang tinggi dan berbahaya bagi pelayaran. Hal itu berlangsung sejak Selasa sampai 2-3 hari berikutnya. Gelombang laut di daerah konvergensi diperkirakan setinggi 2-3 meter, sedangkan gelombang di Selat Sunda diperkirakan 1,5-2 meter.
Terkait bencana banjir pekan lalu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Askary Wirantaatmadja meyakini hal itu tidak memengaruhi minat wisatawan asing dan domestik datang ke Kota Bandung. Desember 2008 kunjungan wisatawan diyakini lebih dari 20.000 orang per minggu.
Adapun masalah kawasan Danau Limboto yang sering kebanjiran, Pemkab Gorontalo mengaku tak berdaya memindahkan 150 keluarga di kawasan danau yang menjadi daratan itu.
Menurut Bupati Gorontalo David Bobihoe yang dihubungi dari Manado, Selasa, pemkab telah membangun 150 unit rumah tipe 21 yang dibagi gratis dari dana APBD 2007 di Kwandang.
Namun, warga menolak karena daerah itu berjarak 6 kilometer dari tempat semula. Alasannya, warga kesulitan melakukan pekerjaan sebagai nelayan di danau, apalagi rumah mereka saat ini lebih bagus dan luas.
Karena itu, pemkab membangun balai ukuran 10 x 25 meter dengan tinggi 3 meter sebagai tempat warga mengungsi apabila kebanjiran. (WSI/HLN/CHE/ZAL)
Rabu, 10 Desember 2008 | 01:46 WIB
Medan, Kompas - Hujan yang turun berhari-hari di kawasan Danau Toba ditambah kerusakan hutan di Sumatera diduga menjadi penyebab naiknya permukaan air Danau Toba mencapai puncak tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Akibatnya, Kabupaten Toba Samosir dan Samosir yang berada di bibir danau kebanjiran.
Banjir juga melanda daerah yang dilewati air danau melalui Sungai Asahan ke Selat Malaka yakni Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten Batu Bara.
Elevasi Danau Toba pada Selasa (9/12) menurut Badan Otorita Asahan mencapai +905,153 meter dengan buangan melalui dam pengatur Siruar mencapai 260,5 ton per detik, dua kali lipat pembuangan biasanya yang rata-rata 110 ton per detik.
Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait mengatakan, pihaknya belum bisa membuka pintu dam terlalu lebar karena Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai akan makin kebanjiran.
Penggiat Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Bungaran Antonius Simanjuntak dan tokoh masyarakat Parmalim Balige Monang Naipospos mengatakan, fungsi hutan sebagai penahan air semakin menurun. Di sisi lain, fungsi danau sebagai penampung air tereduksi oleh sedimentasi.
Sementara itu, Kepala Kelompok Data dan Prakiraan Stasiun Meteorologi Maritim Panjang, Bandar Lampung, Neneng Kusrini, memperingatkan adanya konvergensi (pertemuan angin) di barat daya Selat Sunda yang berpotensi menimbulkan gelombang tinggi dan berbahaya bagi pelayaran. Hal itu berlangsung sejak Selasa sampai 2-3 hari berikutnya. Gelombang laut di daerah konvergensi diperkirakan setinggi 2-3 meter, sedangkan gelombang di Selat Sunda diperkirakan 1,5-2 meter.
Terkait bencana banjir pekan lalu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Askary Wirantaatmadja meyakini hal itu tidak memengaruhi minat wisatawan asing dan domestik datang ke Kota Bandung. Desember 2008 kunjungan wisatawan diyakini lebih dari 20.000 orang per minggu.
Adapun masalah kawasan Danau Limboto yang sering kebanjiran, Pemkab Gorontalo mengaku tak berdaya memindahkan 150 keluarga di kawasan danau yang menjadi daratan itu.
Menurut Bupati Gorontalo David Bobihoe yang dihubungi dari Manado, Selasa, pemkab telah membangun 150 unit rumah tipe 21 yang dibagi gratis dari dana APBD 2007 di Kwandang.
Namun, warga menolak karena daerah itu berjarak 6 kilometer dari tempat semula. Alasannya, warga kesulitan melakukan pekerjaan sebagai nelayan di danau, apalagi rumah mereka saat ini lebih bagus dan luas.
Karena itu, pemkab membangun balai ukuran 10 x 25 meter dengan tinggi 3 meter sebagai tempat warga mengungsi apabila kebanjiran. (WSI/HLN/CHE/ZAL)
Rabu, 10 Desember 2008 | 01:46 WIB
Air Danau Toba Meninggi
Parapat, Kompas - Bangunan dan fasilitas publik di bibir Danau Toba terendam akibat kenaikan air danau setinggi lebih dari 1 meter selama dua bulan terakhir. Menurut warga setempat, tahun ini kenaikan air danau lebih tinggi dan terjadi lebih lama dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Minggu (7/12), air merendam Kantor Koramil 12/Lumban Julu, Pasar Ajibata, Pos Polisi Ajibata, dan dermaga kapal Ajibata. Di Pulau Samosir, Kantor Dinas Perhubungan dan jalan di bibir danau yang rendah seperti di Pangururan terendam. Beberapa penginapan juga terendam.
J Silalahi (57), pemilik kios di Pasar Ajibata, mengatakan, selama tujuh tahun, baru kali ini kiosnya terendam air. Menurut Kepala Desa Perdamean Ajibata Irma Sirait, warga resah karena aktivitas pasar terganggu.
Kepala Cabang Dinas Pasar, Kebersihan, dan Pertamanan Ajibata Tarugan Sirait menyatakan, retribusi pasar bulan ini turun 50 persen dibandingkan Juni. Jumlah pedagang merosot setengah dari jumlah biasa, 150 pedagang.
Menurut Bupati Samosir Mangindar Simbolon, tiga minggu lalu pihaknya mendapat surat dari Badan Otorita Asahan yang menyatakan posisi permukaan air Danau Toba sudah di atas batas atas, 905 meter dari permukaan laut, akibat curah hujan tinggi. Pengendalian permukaan air Danau Toba diatur oleh dam pengatur yang dijalankan PT Inalum atas supervisi Badan Otorita Asahan.
Sementara itu, Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai yang ada di tepi pantai sudah terendam banjir. ”Kami tahu jika pintu air dibuka, daerah bawah makin terendam,” kata Simbolon. Ia akan meminta Otorita Asahan ikut memikirkan fasilitas publik di Samosir yang terendam.
Kenaikan air danau belum mengganggu wisata. Turis asing maupun domestik masih berkunjung ke Danau Toba meski harus berbasah kaki untuk naik kapal.
Kepala Seksi Data Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan Ridwar Kamil mengatakan, curah hujan di Sumatera Utara bulan ini mencapai 200-300 mm.
Jembatan roboh
Di Nusa Tenggara Timur, jembatan Puu Bheto di Desa Riaraja, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, roboh diterjang banjir, Sabtu pukul 17.00 Wita. Akibatnya, masyarakat di enam desa terisolasi. Keenam desa itu adalah Riaraja, Wolokaro, Ja Mokeasa, Mbotutenda, serta Wologai di Kecamatan Ende dan Desa Boafeo di Kecamatan Maukaro.
Pembangunan jembatan yang baru 50 persen itu menjadi harapan akses bagi warga di enam desa untuk bertransaksi ke Ende, terutama menjual hasil pertanian dan perkebunan, sekaligus belanja bahan pokok.
”Sayang sekali jembatan belum difungsikan sudah roboh. Warga di sini amat membutuhkan jembatan,” kata Rofinus Lero, warga Desa Riaraja, Minggu.
Menurut pemimpin PT Dian Jaya Citra Mandiri John Ratutaga, selaku kontraktor pelaksana pembangunan jembatan Puu Bheto, kejadian itu akibat faktor alam. ”Arus air sungai waktu kejadian amat kuat, tinggi air lebih dari 1 meter,” katanya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ende Agustinus Naga menyatakan, pihak kontraktor harus bertanggung jawab menyelesaikan proyek jembatan tersebut hingga tuntas.
Tanggul ambles
Bencana juga mengintip warga di sekitar daerah aliran sungai Bengawan Solo, khususnya di Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Tanggul di Desa Kedungharjo sepanjang 40 meter ambles sedalam 2 meter. Tanggul yang tersisa tinggal 1,5 meter-2 meter dan rawan jebol apabila Bengawan Solo meluap.
”Kami berharap Balai Besar Bengawan Solo segera memperbaiki karena jaraknya hanya 5 meter dari permukiman,” kata Camat Widang Bambang Dwijono, Senin.
Menurut Bambang, tanggul ambles akibat permukaan air sungai sempat tinggi dan pintu air bendung gerak di Babat dibuka semua. Setelah mengalami kemarau panjang, tanggul merekah diterpa panas. Saat terendam air, tanggul langsung ambles.
Untuk memperkokoh, tanggul hanya dipasangi tiang pancang ditambah anyaman bambu dan kawat beronjong. Warga Widang yang bermukim di sepanjang Sungai Bengawan Solo dikerahkan untuk meninggikan tanggul.
Warga meninggikan tanggul sepanjang 13 kilometer mulai dari Desa Patihan sampai Simorejo. Peninggian tanggul dengan karung plastik diisi tanah dan pasir diperkuat anyaman bambu untuk mengantisipasi agar tidak terjadi banjir besar seperti akhir tahun lalu.
Curah hujan di Jawa Barat hingga akhir Desember 2008 diperkirakan mencapai 13 mm per hari. Hal itu dikemukakan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaludin, Senin. Curah hujan baru turun pada Januari 2009, sekitar 11 mm per hari.
Menurut Thomas, curah hujan itu terbilang kecil dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Curah hujan bulan Desember di Kalimantan, misalnya, diperkirakan mencapai 17 mm per hari. Bahkan, di Papua curah hujan mencapai 19 mm per hari dan meningkat menjadi 21 mm per hari pada Januari 2009.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengharapkan masyarakat di bantaran sungai berhati-hati. Curah hujan tinggi dikhawatirkan menyebabkan banjir dan tanah longsor. (WSI/ACI/CHE/SEM)
Selasa, 9 Desember 2008 | 03:00 WIB
Minggu (7/12), air merendam Kantor Koramil 12/Lumban Julu, Pasar Ajibata, Pos Polisi Ajibata, dan dermaga kapal Ajibata. Di Pulau Samosir, Kantor Dinas Perhubungan dan jalan di bibir danau yang rendah seperti di Pangururan terendam. Beberapa penginapan juga terendam.
J Silalahi (57), pemilik kios di Pasar Ajibata, mengatakan, selama tujuh tahun, baru kali ini kiosnya terendam air. Menurut Kepala Desa Perdamean Ajibata Irma Sirait, warga resah karena aktivitas pasar terganggu.
Kepala Cabang Dinas Pasar, Kebersihan, dan Pertamanan Ajibata Tarugan Sirait menyatakan, retribusi pasar bulan ini turun 50 persen dibandingkan Juni. Jumlah pedagang merosot setengah dari jumlah biasa, 150 pedagang.
Menurut Bupati Samosir Mangindar Simbolon, tiga minggu lalu pihaknya mendapat surat dari Badan Otorita Asahan yang menyatakan posisi permukaan air Danau Toba sudah di atas batas atas, 905 meter dari permukaan laut, akibat curah hujan tinggi. Pengendalian permukaan air Danau Toba diatur oleh dam pengatur yang dijalankan PT Inalum atas supervisi Badan Otorita Asahan.
Sementara itu, Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai yang ada di tepi pantai sudah terendam banjir. ”Kami tahu jika pintu air dibuka, daerah bawah makin terendam,” kata Simbolon. Ia akan meminta Otorita Asahan ikut memikirkan fasilitas publik di Samosir yang terendam.
Kenaikan air danau belum mengganggu wisata. Turis asing maupun domestik masih berkunjung ke Danau Toba meski harus berbasah kaki untuk naik kapal.
Kepala Seksi Data Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan Ridwar Kamil mengatakan, curah hujan di Sumatera Utara bulan ini mencapai 200-300 mm.
Jembatan roboh
Di Nusa Tenggara Timur, jembatan Puu Bheto di Desa Riaraja, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, roboh diterjang banjir, Sabtu pukul 17.00 Wita. Akibatnya, masyarakat di enam desa terisolasi. Keenam desa itu adalah Riaraja, Wolokaro, Ja Mokeasa, Mbotutenda, serta Wologai di Kecamatan Ende dan Desa Boafeo di Kecamatan Maukaro.
Pembangunan jembatan yang baru 50 persen itu menjadi harapan akses bagi warga di enam desa untuk bertransaksi ke Ende, terutama menjual hasil pertanian dan perkebunan, sekaligus belanja bahan pokok.
”Sayang sekali jembatan belum difungsikan sudah roboh. Warga di sini amat membutuhkan jembatan,” kata Rofinus Lero, warga Desa Riaraja, Minggu.
Menurut pemimpin PT Dian Jaya Citra Mandiri John Ratutaga, selaku kontraktor pelaksana pembangunan jembatan Puu Bheto, kejadian itu akibat faktor alam. ”Arus air sungai waktu kejadian amat kuat, tinggi air lebih dari 1 meter,” katanya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ende Agustinus Naga menyatakan, pihak kontraktor harus bertanggung jawab menyelesaikan proyek jembatan tersebut hingga tuntas.
Tanggul ambles
Bencana juga mengintip warga di sekitar daerah aliran sungai Bengawan Solo, khususnya di Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Tanggul di Desa Kedungharjo sepanjang 40 meter ambles sedalam 2 meter. Tanggul yang tersisa tinggal 1,5 meter-2 meter dan rawan jebol apabila Bengawan Solo meluap.
”Kami berharap Balai Besar Bengawan Solo segera memperbaiki karena jaraknya hanya 5 meter dari permukiman,” kata Camat Widang Bambang Dwijono, Senin.
Menurut Bambang, tanggul ambles akibat permukaan air sungai sempat tinggi dan pintu air bendung gerak di Babat dibuka semua. Setelah mengalami kemarau panjang, tanggul merekah diterpa panas. Saat terendam air, tanggul langsung ambles.
Untuk memperkokoh, tanggul hanya dipasangi tiang pancang ditambah anyaman bambu dan kawat beronjong. Warga Widang yang bermukim di sepanjang Sungai Bengawan Solo dikerahkan untuk meninggikan tanggul.
Warga meninggikan tanggul sepanjang 13 kilometer mulai dari Desa Patihan sampai Simorejo. Peninggian tanggul dengan karung plastik diisi tanah dan pasir diperkuat anyaman bambu untuk mengantisipasi agar tidak terjadi banjir besar seperti akhir tahun lalu.
Curah hujan di Jawa Barat hingga akhir Desember 2008 diperkirakan mencapai 13 mm per hari. Hal itu dikemukakan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaludin, Senin. Curah hujan baru turun pada Januari 2009, sekitar 11 mm per hari.
Menurut Thomas, curah hujan itu terbilang kecil dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Curah hujan bulan Desember di Kalimantan, misalnya, diperkirakan mencapai 17 mm per hari. Bahkan, di Papua curah hujan mencapai 19 mm per hari dan meningkat menjadi 21 mm per hari pada Januari 2009.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengharapkan masyarakat di bantaran sungai berhati-hati. Curah hujan tinggi dikhawatirkan menyebabkan banjir dan tanah longsor. (WSI/ACI/CHE/SEM)
Selasa, 9 Desember 2008 | 03:00 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)